BUKIT MOKO VS BUKIT KERATON

Media sosial adalah sarana promosi terbaik dan terampuh untuk saat ini. Salah satu contoh nyata adalah Bukit Moko dan Bukit Keraton (18-19 September 2014). Mungkin, dulu ke dua lokasi ini adalah tempat pesta para Jin, karena lokasinya yang jauh naik ke atas bukit. Tapi karena belakangan banyak yang mem-posting foto-foto di salah satu social media berbasis photo sharing, kedua bukit ini mendadak menjadi terkenal, menjadi incaran pengunjung di Bandung untuk sekedar selfie dan pamer "Im at Moko/Keraton". Mungkin juga sebagai anak gaul, rasanya belum ditahbiskan jadi anak gaul kalau belum pernah selfie di 2 bukit ini.

Saya, tanpa bermaksud merebut gelar anak gaul dari remaja-remaja yang datang, hanya sekedar ingin memenuhi rasa penasaran saja, seberapa indahkah kedua bukit itu. 
City view dari Bukit Moko

1. Bukit Moko
Bukit ini sudah lebih dikenal sebelumnya dibanding bukit Keraton, namun pamornya menyeruak setelah nama Bukit Keraton disebut sebagi bukit Instagram. Karena kemiripan lokasi mungkin Moko "menikmati" imbas dari Bukit Keraton yang mendadak tenar itu.

Kami mengunjungi bukit Moko saat menjelang malam. Keputusan yang salah memang. Pemandangan yang bisa kami abadikan hanya kerlip lampu kota Bandung yang bisa terlihat dari ketinggian Bukit Moko di 1500 mdpl. Memang indah, tapi jika kita bisa datang lebih awal, kita juga bisa mengabadikan barisan gunung yang melingkari Bandung ataupun menanti senja terbenam di balik Gunung.
Mendung di atas Bukit Moko
Mengambil rute dari Jalan Padasuka (saung Mang Udjo) lurus sampai ketemu dengan Caringin Tilu. Jalurnya, semakin ke atas semakin menanjak sampai bertemu dengan belok arah kiri yang menanjak dengan penunjuk Warung Daweung. Untuk jalannya masih relatif aman dan rapi, hanya ada beberapa bagian saja yang agak rusak. Untuk kendaraan bermotor, disediakan lahan parkir di bagian bawah atau jika yakin, bisa langsung memarkirkan kendaraannya di halaman Warung Daweung. 
Jika cuaca cerah bisa menyaksiakn sunset
Daweung yang artinya bengongini memang disesuaikan dengan kondisi yang bisa membuat kita termenung memandangi alam dari atas bukit sambil menikmati makanan dari warung ini. Pengalaman saya saat memesan makanan di Warung Daweung saat weekend "janganlah berharap terlalu banyak" hampir 1 jam kami di atas bukit, makanan tidak kunjung datang sampai akhirnya kami pulang pun tidak ada yang memanggil kami. Dimaklumi karena saat itu kondisi Bukit Moko memang super ramai.
Kota Bandung dari ketinggian 1500 mdpl
Sedikit saran dari saya, cobalah datang lebih awal untuk bisa mengabadikan pemandangan saat masih terang, saat matahari terbenam dan saat kota Bandung berkelap-kelip di malam hari. Untuk yang kurang kuat menahan dingin sebaiknya persiapkan jaket karena angin di Bukit Moko cukup kencang dan dingin. Saat saya kesana, agak sedikit salah kostum dengan celana pendek dan kaos tipis. Cukuplah membuat saya mem"buang angin" sepanjang perjalanan balik ke kota Bandung :p. Jika memungkinkan hindari weekend saat ke Bukit Moko karena dapat dipastikan kondisinya sangat ramai. Terakhir pastikan kondisi kendaraan dalam keadaan baik, cukup bahan bakar, karena tidak ada pom bensin selama perjalanan menuju Bukit Moko. Hati-hati juga dengan beberapa ruas jalan yang tidak memiliki pembatas.

2. Bukit/Tebing Keraton
Terletak di Kampung Cihagerem Puncak, Desa Ciburial dengan ketinggian 1200 mdpl di kawasan Dago, tebing ini memang tidak setinggi Bukit Moko tetapi menawarkan pemandangan yang berbeda dengan Bukit Moko. Jika di Moko kita di sajikan dengan landscape kota Bandung plus kelap kelip lampu kota, di Tebing Keraton kita akan disuguhkan pemandangan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Juanda yang letaknya persis ada dibawah kita.
Taman Hutan Rakyat dari atas Bukit Keraton
Menuju ke Tebing Keraton lebih sulit dibanding Bukit Moko. Jalanannya lebih sempit dengan kemiringan yang lebih dahsyat dibanding Moko. Yang pasti kendaraan roda empat tidak bisa digunakan (bisa diparkirkan di Tahura) sehingga harus menggunakan motor. Belum lagi 1/3 jalanan terakhir menuju Tebing Keraton hanya akses jalan berbatu. Mengambil rute ke arah Tahura, persis didepan Tahura ada pertigaan, ambil arah kanan. Dari sini jalanan akan terus menanjak sampai ketemu dengan Warung Bandrek, belok kiri (ada papan petunjuk disini) sampai ketemu lagi dengan belokan kiri yang agak curam. Dari sini tinggal lurus sampai ketemu dengan area parkir untuk Bukit Keraton.  
Selalu berhati-hati karena pengamanan yang minim
Tebing Keraton awalnya dikenal sebagai Bukit Jontor karena letak batu yang mejorok ke depan seperti orang Jontor. Kenapa sekarang lebih dikenal dengan Tebing Keraton?? Versi mistisnya, karena menurut cerita penduduk dulu ada orang kesurupan di sini yang mengatakan nama lokasi ini harus diganti menjadi Tebing Keraton. Konon Bukit ini adalah "Keraton"nya mahluk halus. Versi indahnya Tebing Karaton dalam bahasa Sunda artinya adalah Kemegahan Alam. 

Saya, yang lebih menyukai pemandangan alam yang hijau lebih memilih Tebing Keraton di banding Moko. Yang saya sayangkan, dengan tarif masuk yang cukup mahal (11.000 untuk lokal dan 76.000 untuk turis asing) fasilitas di sini sangat minim. Pagar pembatas hanya berupa bambu yang ditancap ke tanah lalu diikat dengan tambang kecil itupun jarak antar bambu cukup jauh. Jadi untuk pengunjung yang membawa anak-anak sangat diharapkan untuk berhati-hati. Saya sendiri baru tahu kalau saya cukup phobiadengan ketinggian, alhasil saya mengurungkan niat saya untuk selfie di atas "batu jontor". Sepertinya batu sekecil itu akan protes jika diinjak mahluk sebesar saya.
Batu Jontor yang menjorok
Bukit Moko vs Tebing Keraton, keduanya menawarkan pemandangan yang indah asal kita bisa datang pada jam yang tepat dan kondisi cuaca yang baik. Tetap berhati-hati baik dalam berkendara atau saat di lokasi. Hindari bercanda berlebihan, jangan sampai foto selfie-nya bukan terpampang di media sosial tapi malah terpampang di sudut orbituari hihi. Rasa penasaran saya sudah terbayarkan. Ingin kembali ke sana? Menurut pendapat pribadi saya, sepertinya banyak bukit-bukit dengan pemandangan indah serupa hanya saja belum terekspos media. Terakhir, gelar Anak Gaul tetap akan saya berikan pada remaja-remaja ber-tongsis yang seliweran di ke-dua bukit itu. 
Jalan-Jalan Jeprat-Jepret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Advertisement

Lagi Naik Daun

Labels